Beberapa
waktu lalu kita memperingati hari kelahiran R.A. Kartini. Kebetulan untuk
Polwan Polres Bantul (Kompol Sinungwati, SH) mendapat undangan sebagai nara
sumber dalam seminar peran ganda perempuan ditinjau dari aspek hukum dan agama
di gedung BPR Bantul dengan audien gabungan organisasi se kabupaten Bantul yang
dihadiri lebih kurang 160 peserta. Sebelum seminar didahului acara upacara
peringatan hari Kartini dengan irup Ibu Bupati Bantul Ida Idham Samawi.
Memaknai
refleksi kelahiran RA Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April sebagai
tokoh nasional yang dikenal sangat getol memperjuangkan gerakan emansipasi
wanita di Indonesia. Bukan hanya wanita, pria bahkan waria pun sampai detik ini
meyakini derap kemajuan emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat gerakan
emansipasi yang dipelopori RA Kartini.
Untuk
mengabadikan makna kepeloporan Kartini yang hampir menjadi figur sentral wanita
Indonesia, maka tidak heran jika penampilan wanita kita di setiap tanggal 21
April, sarat dengan fenomena Kartini di kantor-kantor pemerintah, swasta.
Bahkan sejumlah unit kerja seperti TV,Radio dll sengaja mensetting program
siaran-siarannya sepanjang hari itu dengan nuansa ke-Kartinian.
Tidak
heran jika mulai dari kalangan ibu, remaja putri hingga anak perempuan sibuk
mendandani diri dengan pakaian kebaya khas Kartini untuk ditampilkan dalam
berbagai atraksi. Tak pelak lagi salon kecantikan yang selama ini sepi
pengunjung, tiba-tiba kebanjiran orderan,walau hanya sekedar pemasangan
sanggul. Semua itu merupakan ekspresi kecintaan dan kekaguman masyarakat
Indonesia terhadap sosok Kartini yang dicitrakan dalam suasana keprihatinan.
Kita
memang tidak dapat menerima dengan argumentasi apapun segala bentuk
ketidakadilan dan diskriminasi. Apalagi praktik pelecehan, peremehan dan
penganiayaan hak kelompok masyarakat rentan seperti kaum perempuan. Bahkan kita
harus menghilangkan, jika perlu melakukan upaya pro justicia kepada siapa pun
yang mencoba melanggar hak serta merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan
sebagaimana konon dialami Kartini dimasa perjuangannya. Terlebih disaat kita di
kekinian telah memiliki konstitusi baru dan sejumlah paket peraturan
perundang-undangan yang telah menjamin pemenuhan HAM dalam segala aspek
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Sebaliknya
kita pun tentu setuju jika eksistensi HAM ditempatkan dalam khasanah Indonesia
di kekinian sebagaimana pula perlunya image Kartini sebagai tokoh pejuang
emansipasi wanita Indonesia untuk diposisikan secara proporsional, objektif dan
multi dimensional. Ini penting karena opini public yang terbangun dalam
memahami aspek perjuangan kemajuan kaum wanita di Indonesia, tampaknya
cenderung didominasi kalau bukan identik dengan sosok perjuangan Kartini.
Betapa
tidak karena hampir semua referensi tentang gerakan emansipasi wanita di
nusantara, tidak pernah luput pengkajiannya dengan sosok Kartini. Tragisnya
karena paradigma gerakan emansipasi wanita di Indonesia terbangun dalam proses
dialektika dan rivalitas yang menempatkan pria dan wanita sebagai kekuatan yang
saling berhadap-hadapan. Tak ayal lagi genderang perlawanan kaum wanita atas
dominasi pria pun ditabuh.
Jika
emansipasi dikonstruksikan sebagai konsep penyetaraan hak dan kedudukan antara
pria dan wanita untuk berperan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan,
maka sesungguhnya hal seperti itu sudah terjadi dan melembaga jauh sebelum era
Kartini. Kita tentu masih ingat kalau Majapahit sebagai kerajaan yang pernah
menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara
dan Madagaskar di barat, ternyata dalam silsilah kerajaan Majapahit pernah
diperintah 2 dua perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”.
dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M.
Bukan
hanya itu dalam catatan sejarah yang lebih tua lagi dari semua yang dikemukakan
di atas, dikenal juga wanita kesohor dari kerajaan Kalingga (Holing/Keling),
masa keemasan kerajaan ini justru berpuncak ketika “Ratu Sima” berkuasa yang
diperkirakan berlangsung pada abad VII M. Dalam masa itu menurut sejarah,
rakyat sungguh-sungguh sangat merasakan nuansa kemakmuran dan keadilan.
Dari
deskripsi yang dikemukakan di atas membuktikan bahwa ketokohan wanita untuk
tampil mengambil peran sentral dalam masyarakat, ternyata selalu hadir disetiap
zaman. Hampir setiap wilayah di nusantara sebenarnya memiliki tokoh perempuan
atau setidaknya nilai tradisi yang mendudukkan perempuan dalam posisi sentral.
Ambil contoh pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut sistem
kekerabatan matrilineal.
Perempuan
dalam sistem kekerabatan ini, mempunyai kedudukan determinan dari pada
laki-laki. Mulai dari soal pewarisan hingga berbagai macam permasalahan dalam
pernikahan dan perceraian, semuanya hanya terfokus pada perempuan sebagai
pemegang hak. Kaum lelaki dalam sistem kekerabatan ini hanya berkedudukan
sebagai sub ordinat atas dominasi perempuan. Fenomena tersebut tentu sangat
jauh dari alam kehidupan Kartini dengan emansipasinya.
Dengan
fakta sejarah sebagaimana yang dikemukakan di atas, terkuaklah bukti bahwa jauh
sebelum era Kartini, kaum wanita sesungguhnya telah mendulang kesetaraan dengan
kaum pria bahkan nyata-nyata telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengambil
peran sosialnya jauh melebihi peran Kartini. Tapi mengapa nama mereka ini
dengan prestasi spektakulernya tak pernah disebut-sebut dalam setiap episode
gerakan emansipasi wanita di Indonesia? Dan mengapa pula mereka dapat menjadi
faktor determinan dalam tatanan kehidupan pada masanya?.
Sampai
disini popularitas Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di nusantara
ternyata sarat dengan kepentingan politik dan menampikkan silsilah perjuangan
perempuan yang jauh lebih prestius sebelum masanya. Bahkan sangat boleh jadi
popularitas.
Selamat
hari Kartini, Jaya selalu Polisi Wanita! J